Rabu, 20 Februari 2008

Bisnis Pribumi Berisiko Tinggi

Upaya Wakil Presiden Jusuf Kalla menggiatkan pengusaha pribumi untuk mengubah wajah dunia bisnis tanah air perlu diimbangi dengan pembenahan iklim investasi dan kemudahan fasilitas. Kalau tidak, pengusaha nasional justru melirik negara lain. Wapres Jusuf Kalla terus memotivasi kalangan pribumi untuk menjadi pengusaha. Menurut Wapres, sampai saat ini jumlah saudagar atau pebisnis pribumi masih sangat kurang bila dibandingkan warga keturunan, akibat kecilnya dorongan kultural untuk menjadi saudagar.Sebagian besar anak muda saat ini masih lebih memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pengusaha nasional pun harus mengevaluasi diri.

"Kalangan saudagar pribumi harus menanamkan kebanggaan kepada anak muda bahwa profesi pengusaha terhormat," papar Jusuf Kalla, baru-baru ini H. Oesman Sapta Odang, salah satu pengusaha sukses asal Kalimantan Barat, mendukung usaha pemerintah menggalakkan masyarakat untuk menjadi pengusaha. Apalagi, sumber daya nasional sangat potensial.
Namun peluang ini kurang dimanfaatkan masyarakat terlihat dari terbatasnya jumlah pengusaha lokal. "Ini disebabkan kurangnya fasilitas yang diberikan pemerintah. Risiko tinggi yang dihadapi pengusaha dalam negeri sebaiknya disikapi pemerintah dengan memberikan banyak kemudahan investasi," papar Oesman Sapta

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan peluang lebih besar terhadap aset-aset lokal yang bisa dikembangkan dan dikelola pengusaha dalam negeri. "Itu tergantung fasilitas. Kalau cukup, mereka akan berani. Tapi jangan jual aset-aset kita keluar negeri dong. Supaya ada kesempatan untuk dikelola oleh investor dalam negeri," pinta Oesman, pengusaha, politisi, sekaligus penggiat olahraga itu. Adanya segudang permasalahan dalam berbisnis di Indonesia seperti yang sering dikeluhkan kalangan pengusaha, bukan merupakan kendala bagi Oesman. Ia justru melihatnya sebagai sumber keuntungan yang besar meski risiko yang dihadapi juga tinggi.
"Setiap ada kendala, selalu ada profit margin yang lebih tinggi. Cuma risikonya juga lebih tinggi. Sekarang masalahnya, berani nggak orang melakukan investasi dengan risiko tinggi?" tambahnya.

Dengan alasan itu pula, Oesman lebih memilih menanamkan modalnya di dalam negrei. Keuntungan yang besar dari Tanah Air pun membuatnya enggan hijrah ke luar negri.
Namun tidak semua pengusaha seperti Oesman. Banyak juga yang lebih memilih menanamkan modalnya di luar negeri karena iklim investasi di negara tetangga terbilang lebih baik.

Salah satunya adalah Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto.
Menurut Djimanto, ia dan pengusaha lain menanamkan modal di luar negeri karena iklim investasi di dalam negeri tidak sebaik di luar negeri, terkait peraturan dan kemudahan investasi.
Ia pun mengaku dapat melakukan perhitungan matang dalam berinvestasi sehingga rencana usaha berjalan baik. "Kalau di sini kami sulit memprediksi, antara lain banyak biaya yang tidak jelas dan tidak terduga," jelasnya. Pemerintah pun menurut Djimanto, sebaiknya berbenah diri dengan untuk memikat kembali pengusaha lokal. Seperti memperbaiki infrastruktur jalan dan listrik dan membuat perhitungan cermat mengenai biaya yang harus dikeluarkan dunia usaha.
Sementara pengamat ekonomi dari Inter-Cafe, Iman Sugema menilai pernyataan pemerintah tentang tidak bisa diandalkannya investor asing sebagai motor pertumbuhan ekonomi agak terlambat. Pasalnya, sejak krisis ekonomi 1997, Indonesia kehilangan nilai kompetitif dibanding negara lain.

Iman menambahkan, pemerintah juga harus meningkatkan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, dan listrik. "Dunia usaha telah berulang kali mempersoalkan infrastruktur yang kurang memadai," ujarnya.
Tingginya prospek investasi di pasar bursa harus diselaraskan dengan investasi di sektor riil. "Mereka tidak akan membangun pabrik. Itu artinya, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak terjadi," paparnya.

Pemerintah sebenarnya tidak berdiam diri menghadapi kompleksitas masalah pengusaha dan iklim investasinya. Mengacu pada laporan BKPM, realisasi penanaman modal Indonesia naik cukup signifikan. Realisasi penanaman modal baik asing (PMA) dan dalam negeri (PMDN) tahun 2007 mencapai Rp 109,73 triliun atau 101% dari target.

Beberapa pemeringkat rating telah diperoleh Indonesia terhadap membaiknya iklim investasi. Fitch Ratings menaikkan peringkat jangka panjang untuk mata uang asing dan lokal menjadi BB dengan prospek stabil. Kemudian International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia menaikkan indeks kemudahan berbisnis menjadi 123 dari 178 negara yang disurvei.
Indonesia pun masuk dalam Top 25 FDI Confidence Index dan menempati peringkat 21 dengan klasifikasi negara dengan tujuan investasi paling atraktif. Sedangkan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) juga menaikkan peringkat Indonesia satu tingkat di level delapan dari negara tujuan investasi Jepang.

Tidak ada komentar: